Pagar Sepiring Nasi
Oleh Bahtiar HS
Kuliah
Ahad Shubuh, di masjid kampung saya, topiknya berat: Pola Konsumsi Muslim,
menukil pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi. Tetapi, yang ingin saya sampaikan kali
ini bukan materi berat itu, melainkan sebuah humor, yang jadi selingan ustadz
pengisi siraman rohani pagi itu. Bukan karena lucu, melainkan justru karena
sangat bermakna.
Dialog
ini diambilnya dari lawakan Srimulat, entah kapan. Saya sendiri rasanya belum
pernah mendengarnya. Ustadz itu kemudian bercerita -- dengan tokoh yang saya
reka sendiri:
Asmuni
bertanya pada teman-temannya, “Ada
yang tahu nggak, apa yang paling aman bisa menjaga rumah kita dari gangguan
orang?”
Sejenak
kemudian, Tarsan yang tinggi besar menjawab, dengan gaya sangat meyakinkan, “Yang paling aman
adalah buat pagar yang sangat tinggi, biar orang lain tidak bisa memasuki atau melompat ke dalam
halaman rumah kita.”
Asmuni
tertawa. “Ha ha ha! Syalahh!!”
Timbul
menimpali jawab. “Pelihara aja anjing herder yang paling gedhe dan galak! Ya, kan Asminu? Eh, Asmuni?”
Asmuni
tertawa lagi. “Ha ha ha! Sudah ngawur, salah pula!!”
Bisa
ditebak, akhirnya tidak ada yang bisa memberi jawaban yang menurut Asmuni
benar. Semua menyerah. “Apa dong jawabnya?” tanya mereka.
“Ha
ha! Nyerah?” tanya Asmuni meledek sambil mesam-mesem. “Jawabnya gampang! Yang
paling aman menjaga rumah kita adalah … sepiring nasi!”
“Sepiring
nasi?” ulang Timbul linglung. “Ah, ojo guyon?”
“Ini
betul, Pak Timbul!”
“Gimana
mungkin sepiring nasi bisa menjadi penjaga paling aman rumah kita?”
“Lho,
coba saja. Berilah tetangga kita sepiring nasi, merata, dan yang sering-sering
aja,“ kata Asmuni serius. “Bahkan rumah kita tak dikasih pagar sekalipun tidak
akan ada yang nyolong. Ya, nggak?”
Semua
melongo, kemudian mengangguk-angguk.
Yang
kemudian akan saya ceritakan ini bukan lawakan, melainkan kenyataan yang saya
alami dan lihat dengan mata kepala sendiri. Sebuah pengalaman nyata.
Pertengahan
Januari 2005 yang lalu, selepas tsunami melanda Aceh dan sekitarnya, saya
berkesempatan mengunjungi Tuan Haji Ismail bin Haji Ahmad, pemilik perusahaan
HPA Sdn. Bhn. di Negara Bagian Perlis ,
Malaysia .
Kebetulan istri saya sedang belajar ilmu pengobatan herba di Kolej Perubatan
Jawi (KPJ) di bawah pembinaan beliau selama satu setengah bulan.
“Anggap
rumah sendiri, Pak Bahtiar,” kata tuan rumah yang ramah ini.
Rumah
itu berbentuk sebagaimana rumah di Jawa. Terbuat dari pasangan batu bata dan
semen, dengan atap dari seng atau genteng. Langit-langitnya ditutup asbes dan
lantainya dipasangi keramik apa adanya. Di sebelahnya ada rumah panggung dari
kayu, bentuk khas rumah penduduk di sana
yang kiranya tetap dipertahankan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu (Jawa: gedheg)
yang berlubang-lubang sehingga ketika tidur bisa mengintip bintang di langit.
Di sebelahnya lagi sebuah surau sederhana, tempat keluarga Tuan Haji dan
masyarakat sekitarnya salat berjamaah.
Meskipun
ada pagar berbatasan dengan jalan, tetapi jalan masuk ke lingkungan rumah ini
tidak berpintu. Juga antara rumah satu dengan tetangga lainnya yang berdekatan
tidak ada pagar pembatas.
Kami
ditempatkan beliau di rumah batu-bata; di sebuah kamar, yang biasa dipakai
putra-putri beliau jika sedang di rumah -pada saat itu, semua anaknya (kecuali
yang baru lahir) sedang berada di pondok pesantren Tahfidhul qur’an.
Di
lingkungan ini berkumpul satu komunitas masyarakat -semacam dusun di Indonesia
- yang terdiri atas beberapa puluh rumah. Dusun ini dikelilingi oleh hamparan
sawah yang luas dan terbuka dengan latar belakang bukit yang menjulang di
kejauhan. Sungguh pemandangan pedesaan yang modern tetapi asri. Mengapa saya
bilang modern, karena fasilitas jalan yang tersedia sangat lebar, mulus,
tertib, lengkap dengan rambu-rambu yang bagus dan terawat. Juga terdapat banyak
pabrik beraneka rupa yang memproduksi berbagai jenis barang komoditi. Singkat
kata, Jejawi bukan serupa pedesaan di Jawa, melainkan sungguh-sungguh sebuah kota yang ramai.
Jika
kami masuk rumah, tinggal mencopot sepatu di luar pintu, membuka pintu
sebagaimana adanya dan menutupnya sedemikian rupa. Itu saja. Di dalam rumah pun
demikian juga. Kami dengan mudahnya bisa masuk ke ruang tamu beliau,
perpustakaan, ruang makan, dapur.
Selama
lima hari
tinggal di rumah itu – kebetulan beliau juga sedang ke Aceh, membantu korban
tsunami – tak ada pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabnya kecuali mengapa
rumah ini tidak pernah dikunci. Apakah pemilik rumah ini tak takut kehilangan
benda berharga di dalamnya ? Apakah Tuan Haji tidak pernah kemalingan ?
Jawabnya
ternyata tidak jauh dari lawakan di atas. Ya, sepiring nasi. Maksud saya, Tuan
Haji terkenal sebagai orang yang dermawan, suka memberi pada tetangganya, pada
orang lain yang membutuhkan. Ia sangat memperhatikan zakat dan infaqnya. Ia pun
sangat sederhana. Bahwa baju yang dimilikinya hanya cukup dipakai bergantian
selama seminggu alias tujuh hari barangkali sudah cukup menggambarkan betapa ia
hidup bersahaja dan tidak bermewahan. Padahal beliau adalah pemilik perusahaan
HPA yang produknya sudah merambah tidak hanya Malaysia ,
tetapi juga seluruh pelosok Indonesia ,
Thailand ,
bahkan Timur Tengah. Ia seorang muslim yang konglomerat kalau boleh saya
bilang.
Bagaimana
jika harta di rumah Tuan Haji dibawa maling? Seseorang pernah bertanya
demikian. “Itu saya anggap Allah sedang membersihkan harta saya yang mungkin
kotor,” jawab herbalis itu. Namun, apakah Tuan Haji pernah kemalingan? “Pernah
juga,“ jawabnya kalem. “Tetapi sekalinya pencuri itu mengambil barang-barang di
rumah saya, tak berapa lama kemudian ianya kembali ke rumah dan mengembalikan
barang-barang yang diambilnya semula.”
Yah,
kalau begitu sih, tak usah dikunci juga tak apa-apa. Pencuri saja akan
mengembalikan hasil curiannya dari rumah Tuan Haji. Jadi, apatah gunanya
dikunci-kunci pula?
Sudah
lima hari saya di Malaysia dan menginap di rumah itu.
Saya sudah waktunya pulang ke Indonesia .
Istri dan beberapa teman peserta KPJ serta karyawan Tuan Haji Ismail mengajak
saya berkeliling Perlis. Ke Gua Kelam, Wang Kelian di perbatasan Malaysia dengan Thailand , Masjid Kangar, dan
sebagainya. Karena saya akan pergi seharian dan kebetulan saya membawa tas
berisi laptop milik perusahaan tempat saya bekerja, maka secara refleks saya
memasang kunci kamar dari dalam. Toh tinggal pencet. Dalam batin saya, takutnya
kalau laptop mahal itu hilang dicuri orang. Ketika pintu saya tutup dari luar
dan kemudian … klik! … terkunci, barulah saya menyadari bahwa saya betul-betul
tidak tahu di mana anak kuncinya berada.
Akhirnya
saya lalui kunjungan ke beberapa tempat tersebut dengan hati yang tak jenak.
Gara-gara suudzon pada rumah Tuan Haji yang tak berkunci, justru saya
terlibat kesulitan karena telah mengunci kamar tanpa tahu di mana anak kuncinya
berada. Mana tuan rumah juga sedang tidak di tempat. Maka setelah kunjungan
selesai, kami berkeliling mencari tukang kunci di Kangar. Untung masih ada satu
toko yang buka -itupun setelah orangnya ditelpon ke rumah.
Jadilah
kami membongkar kunci kamar Tuan Haji hanya karena kelalaian kecil; hingga
karenanya saya harus membayar RM 70 pada tukang kunci necis itu –bawaannya
mobil keren. Uang itu setara dengan Rp 175.000,- hanya untuk kerjaan
ketrampilan tangan Mac Giver mengkutak-katik lubang kunci dengan sejengkal
kawat.
Mungkin
untuk bisa seperti Tuan Haji Ismail yang tanpa beban membiarkan pintu rumahnya
tak berkunci, saya harus membuang jauh-jauh prasangka jelek (su'udzon)
pada orang lain, di samping tentu berbagi “sepiring nasi”. Wallahu a’lam.
referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar